Hakikat Pendidikan Inklusif #1 - e-learning.my.id

Hakikat Pendidikan Inklusif

Pada awalnya pendidikan khusus menerapkan pembelajaran model segresi yaitu, menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah khusus atau Sekolah Luar Biasa (SLB), terpisah dari teman sebayanya. Dapat dikatakan di sekolah ini Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dipisahkan dari sistem sekolah yang diselenggarakan secara reguler.

Misalnya, Sekolah Luar Biasa (SLB) dimulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). 

Sekolah dengan model segregasi tersebut menerima siswa dengan hambatan yang sama, maka ada Sekolah Luar Biasa Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, dan Tunalaras.

Dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Kerugian tersebut sebagaimana pandangan Reynolds dan Birch (1988) antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. 

Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, mereka dipisahkan dengan masyarakat pada umumnya. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.

Melalui pendidikan inklusif, anak berkebuthan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

Pengertian dan Tujuan Pendidikan Inklusif

Menurut Stubbs (Depdiknas, 2007:23) mendefinsikan bahwa ‘inklusif atau pendidikan inklusif bukan nama lain untuk pendidikan kebutuhan khusus. Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mengidentifikasi dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah’. Definisi pendidikan inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra pada tahun 1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara merumusakan poin-poin sebagai berikut.
  • lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal.
  • mengakui bahwa semua anak dapat belajar.
    memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak.
  • mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, hambatan, status HIV/AIDS dll.
  • merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya.
  • merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat
    yang inklusif.
Definisi berikutnya dikemukakan oleh Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) menyatakan bahwa ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama temanteman seusianya’. 

Landasan Pendidikan Inklusif

Kebijakan implementasi pendidikan inklusif bukan sebatas pada pertimbangan kemanusiaan semata, akan tetapi memilki landasan yang kuat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011) menjelaskan ada 3 landasan penyelenggaran pendidikan inklusif, yakni landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris.

Landasan Filosofis

Terkait dengan landasan filosofis, Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika.

Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. 

Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.

Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama.

Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama, tetap dalam kesatuan.

Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.

Landasan Yuridis

Landasan yuridis tentang pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang terkait. Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.

Dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2): “Warga negara yang memiliki hambatan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

Dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pasal 32 ayat (1) “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena hambatan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”.

Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa “Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki6 kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Pasal 45 ayat (1) “Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”

Landasan Empiris

Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982).

Hasil meta analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman sebayanya.

Selain itu, Depdiknas (2007) mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif mendapatkan dukungan dari berbagai
event atau moment, baik internasional maupun nasional. Diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), tahun 1948;
  • Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Tahun 1989;
  • Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for All) Tahun 1990;
  • Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities);
  • Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on Inclusive Education) Tahun 1994;
  • Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua (The Dakar Commitment on Education for All) Tahun 2000;
  • Deklarasi Bandung Tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusi”;
  • Rekomendasi Bukittinggi Tahun 2005, menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah terhadap anak semestinya dipandang sebagai:
    • Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;
    • Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari programprogram untuk perkembangan anak usia dini, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
    • Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.
Merujuk pada uraian di atas, jelaslah bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dukungan secara internasional maupun nasional sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan yang ditujukan untuk menjamin terlayaninya hak-hak pendidikan individu dengan memperhatikan kebutuhan khusus setiap peserta didik.

Hakikat Pendidikan Inklusif #1

Hakikat Pendidikan Inklusif

Pada awalnya pendidikan khusus menerapkan pembelajaran model segresi yaitu, menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah khusus atau Sekolah Luar Biasa (SLB), terpisah dari teman sebayanya. Dapat dikatakan di sekolah ini Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dipisahkan dari sistem sekolah yang diselenggarakan secara reguler.

Misalnya, Sekolah Luar Biasa (SLB) dimulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). 

Sekolah dengan model segregasi tersebut menerima siswa dengan hambatan yang sama, maka ada Sekolah Luar Biasa Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, dan Tunalaras.

Dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Kerugian tersebut sebagaimana pandangan Reynolds dan Birch (1988) antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. 

Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, mereka dipisahkan dengan masyarakat pada umumnya. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.

Melalui pendidikan inklusif, anak berkebuthan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

Pengertian dan Tujuan Pendidikan Inklusif

Menurut Stubbs (Depdiknas, 2007:23) mendefinsikan bahwa ‘inklusif atau pendidikan inklusif bukan nama lain untuk pendidikan kebutuhan khusus. Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mengidentifikasi dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah’. Definisi pendidikan inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra pada tahun 1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara merumusakan poin-poin sebagai berikut.
  • lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal.
  • mengakui bahwa semua anak dapat belajar.
    memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak.
  • mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, hambatan, status HIV/AIDS dll.
  • merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya.
  • merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat
    yang inklusif.
Definisi berikutnya dikemukakan oleh Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) menyatakan bahwa ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama temanteman seusianya’. 

Landasan Pendidikan Inklusif

Kebijakan implementasi pendidikan inklusif bukan sebatas pada pertimbangan kemanusiaan semata, akan tetapi memilki landasan yang kuat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011) menjelaskan ada 3 landasan penyelenggaran pendidikan inklusif, yakni landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris.

Landasan Filosofis

Terkait dengan landasan filosofis, Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika.

Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. 

Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.

Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama.

Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama, tetap dalam kesatuan.

Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.

Landasan Yuridis

Landasan yuridis tentang pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang terkait. Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.

Dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2): “Warga negara yang memiliki hambatan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

Dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pasal 32 ayat (1) “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena hambatan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”.

Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa “Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki6 kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Pasal 45 ayat (1) “Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”

Landasan Empiris

Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982).

Hasil meta analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman sebayanya.

Selain itu, Depdiknas (2007) mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif mendapatkan dukungan dari berbagai
event atau moment, baik internasional maupun nasional. Diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), tahun 1948;
  • Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Tahun 1989;
  • Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for All) Tahun 1990;
  • Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities);
  • Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on Inclusive Education) Tahun 1994;
  • Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua (The Dakar Commitment on Education for All) Tahun 2000;
  • Deklarasi Bandung Tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusi”;
  • Rekomendasi Bukittinggi Tahun 2005, menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah terhadap anak semestinya dipandang sebagai:
    • Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;
    • Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari programprogram untuk perkembangan anak usia dini, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
    • Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.
Merujuk pada uraian di atas, jelaslah bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dukungan secara internasional maupun nasional sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan yang ditujukan untuk menjamin terlayaninya hak-hak pendidikan individu dengan memperhatikan kebutuhan khusus setiap peserta didik.
Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo