Hakikat Pendidikan Inklusif #2 - e-learning.my.id

Prinsip Pendidikan Inklusif

Dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di sekolah inklusif, Depdiknas (2007) telah merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai berikut:
  • Prinsip motivasi, guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajarmengajar.
  • Prinsip latar atau konteks, guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.8
  • Prinsip hubungan sosial, dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran
  • mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
  • Prinsip individualisasi, guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu:
  1. Setiap anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok.
  2. Hari sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.
  3. Guru bekerja sama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas
Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup juga anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).
  1. Prinsip kesatu: Perkembangan Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan. Dengan adanya perkembangan kearah UPE, Sekolah Dasar harus merespon keragaman peserta didik secara luas, baik itu dalam hal latar belakang9 sosial ekonomi dan budaya, pola tingkah laku, maupun kemampuan dan potensi yang berbeda-beda. Untuk itu perlu dilakukan perubahan dalam aturan perundangundangan, organisasi dan pelaksanaannya serta perubahan filosofi kearah yang inklusif yang memandang bahwa semua anak mempunyai hak yang sama untuk pendidikan dasar, dan setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda.
  2. Prinsip kedua: Komitmen pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat Pada Anak (Child- Centered). Prinsip kedua: pada dasarnya mengungkapkan tentang inovasi pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Prinsip ini menghendaki adanya perubahan pendekatan dalam pendidikan dari pola tradisional menjadi pola pendekatan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered patern). Asumsinya bahwa setiap anak memiliki kapasitas dan kebutuhan yang berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, sehingga pola pendidikan tradisional (yang menggunakan pendekatan klasikal, berpusat pada guru, berdasarkan pada materi hapalan, dan tidak mempertimbangkan gaya belajar dan latar belakang peserta didik) dianggap tidak relevan dengan kondisi anak berkebuthan khusus.
  3. Prinsip ketiga: Penekanan pada Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas. Agar pendidikan dasar lebih efektif dalam melayani peserta didik yang beragam, sekolah harus responsif terhadap kebutuhan para peserta didik serta kebutuhan guru dalam strategi mengajar, juga kemampuan untuk meningkatkan kurikulum sehingga dapat menyampaikan program pendidikan yang sesuai untuk semua anak. Lebih penting dari hal tersebut di atas adalah perlunya perubahan filosofis dari yang berorientasi tradisional menuju pelaksanaan pendidikan berorientasi pada keberhasilan, fleksibilitas, dan akomodatif terhadap keragaman, yaitu paradigma yang menerima konsep dapat dididik (universal educability), dimana semua anak dapat belajar. Hal ini mengimplikasikan dua hal, pertama, mengatasi adanya fragmentasi anak dengan kebutuhannya, kedua, mengatasi gejala kegagalan di sekolah dengan etos keberhasilan.
  4. Prinsip keempat: Memperkuat Hubungan Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus. Kepercayaan akan perlunya mengkaitkan antara sekolah reguler dengan sekolah khusus secara lebih erat lagi merupakan implikasi dari istilah The Reguler10 Education Initiative (REI). REI mengajak sistem pendidikan reguler untuk bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan semua peserta didik dan juga memberikan saran bahwa pendidikan khusus hendaknya bertindak sebagai sumber daya bagi pendidikan reguler. REI mengimplikasikan adanya penerimaan terhadap universal educability dan penyebarluasan etos keberhasilan untuk menggantikan sindrom kegagalan yang ada pada sebagian besar sekolah dasar.
  5. Prinsip kelima: Komitmen untuk Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat. Di bawah paradigma baru untuk pendidikan dasar, sekolah dipandang sebagai bagian integral dari lingkungan masyarakat. Guru, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat semuanya terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, sehingga tanggung jawab atas kemajuan anak menjadi tanggung jawab bersama. Kerjasama dan pengkoordinasian antara fasilitas pendidikan khusus, guru, dan sekolah reguler haruslah menjadi kegiatan yang bisa dilakukan sebab tidak ada satu sistem yang dapat memenuhi semua kebutuhan anak.
  6. Prinsip keenam: Pengakuan oleh para profesional tentang keragaman yang lebih besar. Pembekalan kepada calon guru dengan memberikan bermacam-macam cara pembelajaran, bentuk-bentuk pendekatan yang fleksibel dan kooperatif sebenarnya menunjukkan adanya kesadaran para profesional akan adanya keberagaman cara belajar yang dimiliki oleh peserta didik. Di India, guru diberikan dorongan untuk menggunakan pendekatan yang lebih fleksibel dan membantu guru tersebut agar mampu bekerja secara kooperatif dengan guru lainnya. Di India juga telah digunakan konsep multy category resourch teacher, dimana seorang guru sebagai narasumber diberi tugas untuk membantu guru lain dalam berbagai kasus pada anak-anak berkebutuhan khusus.
  7. Prinsip ketujuh: Komitmen terhadap pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community shared responsibility. Tanggung jawab bersama merujuk pada hubungan sekolah dengan konteks masyarakatnya dan mengasumsikan bahwa masyarakat dan organisasi perlu bekerjasama untuk mendidik anak. Pendekatan holistik dan perkembangan didasarkan pada asumsi bahwa:
    1. Ada banyak domain dalam kehidupan anak yang berpengaruh pada performa pendidikan di sekolah.
    2. Ada banyak aspek dari perkembangan danak yang akan menentukan sejauh mana anak akan dapat mengambil manfaat dari pendidikan.
    3. Pengaruh hambatan dan kondisi hidup yang lain dapat bersifat komulatif dan perlu diberikan intervensi sedini mungkin.
    4. Guru dan profesional yang lain sama-sama bertanggung jawab untuk pemeriksaan anak dalam melihat adanya masalah nutrisi yang ada, untuk membuat referensi dan pengambilan tindakan yang tepat.
    5. Guru bertanggung jawab terhadap semua anak dan perkembangannya, bukan hanya kognitifnya saja.
Dalam sistem sekolah yang mengaplikasikan prinsip-prinsip perkembangan yang holistik, layanan pendidikan memperhatikan sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian pendidikan, termasuk kesehatan dan keadaan fisik, keadaan nutrisi, tuntutan kerja dan lainlainnya.
Hakikat Pendidikan Inklusif #1 dan Hakikat Pendidikan Inklusif #2 diambil dari Guru berbagi Materi Pendidikan Inklusif 

Hakikat Pendidikan Inklusif #2

Prinsip Pendidikan Inklusif

Dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di sekolah inklusif, Depdiknas (2007) telah merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai berikut:
  • Prinsip motivasi, guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajarmengajar.
  • Prinsip latar atau konteks, guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.8
  • Prinsip hubungan sosial, dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran
  • mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
  • Prinsip individualisasi, guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu:
  1. Setiap anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok.
  2. Hari sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.
  3. Guru bekerja sama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas
Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup juga anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).
  1. Prinsip kesatu: Perkembangan Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan. Dengan adanya perkembangan kearah UPE, Sekolah Dasar harus merespon keragaman peserta didik secara luas, baik itu dalam hal latar belakang9 sosial ekonomi dan budaya, pola tingkah laku, maupun kemampuan dan potensi yang berbeda-beda. Untuk itu perlu dilakukan perubahan dalam aturan perundangundangan, organisasi dan pelaksanaannya serta perubahan filosofi kearah yang inklusif yang memandang bahwa semua anak mempunyai hak yang sama untuk pendidikan dasar, dan setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda.
  2. Prinsip kedua: Komitmen pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat Pada Anak (Child- Centered). Prinsip kedua: pada dasarnya mengungkapkan tentang inovasi pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Prinsip ini menghendaki adanya perubahan pendekatan dalam pendidikan dari pola tradisional menjadi pola pendekatan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered patern). Asumsinya bahwa setiap anak memiliki kapasitas dan kebutuhan yang berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, sehingga pola pendidikan tradisional (yang menggunakan pendekatan klasikal, berpusat pada guru, berdasarkan pada materi hapalan, dan tidak mempertimbangkan gaya belajar dan latar belakang peserta didik) dianggap tidak relevan dengan kondisi anak berkebuthan khusus.
  3. Prinsip ketiga: Penekanan pada Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas. Agar pendidikan dasar lebih efektif dalam melayani peserta didik yang beragam, sekolah harus responsif terhadap kebutuhan para peserta didik serta kebutuhan guru dalam strategi mengajar, juga kemampuan untuk meningkatkan kurikulum sehingga dapat menyampaikan program pendidikan yang sesuai untuk semua anak. Lebih penting dari hal tersebut di atas adalah perlunya perubahan filosofis dari yang berorientasi tradisional menuju pelaksanaan pendidikan berorientasi pada keberhasilan, fleksibilitas, dan akomodatif terhadap keragaman, yaitu paradigma yang menerima konsep dapat dididik (universal educability), dimana semua anak dapat belajar. Hal ini mengimplikasikan dua hal, pertama, mengatasi adanya fragmentasi anak dengan kebutuhannya, kedua, mengatasi gejala kegagalan di sekolah dengan etos keberhasilan.
  4. Prinsip keempat: Memperkuat Hubungan Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus. Kepercayaan akan perlunya mengkaitkan antara sekolah reguler dengan sekolah khusus secara lebih erat lagi merupakan implikasi dari istilah The Reguler10 Education Initiative (REI). REI mengajak sistem pendidikan reguler untuk bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan semua peserta didik dan juga memberikan saran bahwa pendidikan khusus hendaknya bertindak sebagai sumber daya bagi pendidikan reguler. REI mengimplikasikan adanya penerimaan terhadap universal educability dan penyebarluasan etos keberhasilan untuk menggantikan sindrom kegagalan yang ada pada sebagian besar sekolah dasar.
  5. Prinsip kelima: Komitmen untuk Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat. Di bawah paradigma baru untuk pendidikan dasar, sekolah dipandang sebagai bagian integral dari lingkungan masyarakat. Guru, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat semuanya terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, sehingga tanggung jawab atas kemajuan anak menjadi tanggung jawab bersama. Kerjasama dan pengkoordinasian antara fasilitas pendidikan khusus, guru, dan sekolah reguler haruslah menjadi kegiatan yang bisa dilakukan sebab tidak ada satu sistem yang dapat memenuhi semua kebutuhan anak.
  6. Prinsip keenam: Pengakuan oleh para profesional tentang keragaman yang lebih besar. Pembekalan kepada calon guru dengan memberikan bermacam-macam cara pembelajaran, bentuk-bentuk pendekatan yang fleksibel dan kooperatif sebenarnya menunjukkan adanya kesadaran para profesional akan adanya keberagaman cara belajar yang dimiliki oleh peserta didik. Di India, guru diberikan dorongan untuk menggunakan pendekatan yang lebih fleksibel dan membantu guru tersebut agar mampu bekerja secara kooperatif dengan guru lainnya. Di India juga telah digunakan konsep multy category resourch teacher, dimana seorang guru sebagai narasumber diberi tugas untuk membantu guru lain dalam berbagai kasus pada anak-anak berkebutuhan khusus.
  7. Prinsip ketujuh: Komitmen terhadap pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community shared responsibility. Tanggung jawab bersama merujuk pada hubungan sekolah dengan konteks masyarakatnya dan mengasumsikan bahwa masyarakat dan organisasi perlu bekerjasama untuk mendidik anak. Pendekatan holistik dan perkembangan didasarkan pada asumsi bahwa:
    1. Ada banyak domain dalam kehidupan anak yang berpengaruh pada performa pendidikan di sekolah.
    2. Ada banyak aspek dari perkembangan danak yang akan menentukan sejauh mana anak akan dapat mengambil manfaat dari pendidikan.
    3. Pengaruh hambatan dan kondisi hidup yang lain dapat bersifat komulatif dan perlu diberikan intervensi sedini mungkin.
    4. Guru dan profesional yang lain sama-sama bertanggung jawab untuk pemeriksaan anak dalam melihat adanya masalah nutrisi yang ada, untuk membuat referensi dan pengambilan tindakan yang tepat.
    5. Guru bertanggung jawab terhadap semua anak dan perkembangannya, bukan hanya kognitifnya saja.
Dalam sistem sekolah yang mengaplikasikan prinsip-prinsip perkembangan yang holistik, layanan pendidikan memperhatikan sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian pendidikan, termasuk kesehatan dan keadaan fisik, keadaan nutrisi, tuntutan kerja dan lainlainnya.
Hakikat Pendidikan Inklusif #1 dan Hakikat Pendidikan Inklusif #2 diambil dari Guru berbagi Materi Pendidikan Inklusif 
Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo